CERPEN LINGKUNGAN
J
|
ika anda adalah seorang pecinta alam
datanglah ke tempat tinggalku. Disini anda dapat melihat dunia hijau bak padang
rumput.
Sungguh aku bukan berlebihan, melainkan
ini merupakan kenyataan. Di sini angin
datang dengan melambai-lambai. Daun menari dipucuk batang. Dengan mudah aku
menggapai buah-buahan tanpa mengeluarkan uang. Perut ku terasa cepat sekali
kenyang. Tubuh pun selalu sehat dan bugar. Aku sangat suka memanjat pohon dan
menikmati buahnya. Kadang kala kubayangkan buah jatuh berlimpah mengetuk bumi
menyebarkan keharuman, menggetarkan tanah, menari riang bersama daun. Kemudian
aku berbaring diatas tanah yang dipenuhi oleh buah-buahan manis. Lalu aku
mengupas dan menikmatinya
Di sini hujan sering turun dan, uniknya,
hampir selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan
angin ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa.
Apabila hujan turun, aku paling suka
duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke
luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak hewan menari bersama dengan tumbuh-tumbuhan. Mereka seperti sahabat, saling melengkapi dan melindungi.
Dalam kondisi kering, hutan yang memberikan tempat tinggal bagi makhluk hidup
nan indah ini,
warnanya sangat asri dan terlihat indah, hijau dan
memberikan nuansa alam yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga
nuansa biru yang asli, meski tidak mencolok. Sungai itu
ada sejak aku lahir, dan ketika hujan turun, sungai itu dimanjakan dengan
titik-titik kecil dan bunyi ketukan itu meraup ditelinga seperti suara gitar
spanyol nan indah.
Selain itu, yang kunikmati manakala
hujan tengah mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang
menggigil dan memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada
bentang alam yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada
perempuan yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan
bersedih. Dada yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya
terselubung oleh uap samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh
yang menyembul melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan
embun bening menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi
hujan.
Setiap hari aku
selalu datang kehutan menemui sahabat-sahabatku. Menikmati surga dunia yang
berada di depan kelopak mata. Mata yang sayup seakan kembali memaksa untuk tetap
melihat keindahan ini tanpa berkedip sedetikpun. Tetapi perlahan-lahan angin
yang kunikmati membawa kabar buruk. Gerimis yang turun seperti
jarum-jarum logam pada senja itu gagal mengirimkan harum tanah dan hawa sejuk
ke ruang sebuah paviliun di pinggang bukit itu. Jaket dan sweater memang tetap
melekat di badan, tapi panas di kepala sangat sukar ditahan. Entah sudah berapa
kali gelas-gelas dituang kopi panas. Entah sudah berapa puluh puntung rokok
menggunung dalam asbak. Ruang itu tetap saja dibungkus asap. Ribuan kata pun
meluncur dari belasan mulut. Kata-kata itu menjelma ular kalimat yang saling
mendesak, saling menindih, saling menghantam, dan saling memagut.
Ribuan tumbuhan dan hewan berteriak
histeris. Singa mengaung keras. Ribuan ular berbisa keluar dari
persembunyian. Monyet hutan menguik. Semua berlari. Tumbuhan tidak dapat
bergerak kemana-mana. Tumbuhan pasrah. Ribuan hewan menangis ketakutan. Dalam
hati mereka ingin menerkam pembakar hutan liar. Tetapi kekuatan mereka
dikalahkan oleh bom yang secepat kilat
menjalar di hutan. Hewan yang tidak sempat kabur tenggelam didalam kobaran api,
begitu juga dengan tumbuhan tidak bisa lari dari kobaran api.
Mendengar kabar tersebut aku langsung terjun kembali ke
tempat tinggalku. Ternyata benar, sudah tidak ada yang tersisa lagi. Hutan
sudah menjadi lumpur. Pohon tempat tubuhku bersadar sekarang menjadi kayu-kayu
hitam. Para sahabat telah menjadi bangkai. Sungguh mata ini tidak sanggup
melihatnya.
“Ayah, mengapa
mereka melakukan ini semua, ayah!” aku menjerit memeluk ayah.
“Seperti inilah nak
kenyataan pahit yang harus rakyat terima. Yang kuat menindas yang lemah, yang
lemah dengan begitu mudah pasrah. Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk hutan
ini. Mereka telah mengeksploitasi untuk kepentingan kolompok”, Ayah
menenangkan.
“husshhh sudahlah
lebih baik kita tinggalkan tempat ini, kita akan pindah tempat tinggal!”
Sungguh aku tidak
tega melihat mata ayah yang juga mengeluarkan gerimis dari kelopak mata,
membasahi pipi yang semakin tirus, dahinya mengkerut. Sejujurnya ayah juga
tidak sanggup melihat hutan dan tempat tinggal kami yang berada disekitar hutan
juga ikut rata menjadi lumpur hitam. Aku menuruti perintah ayah.
***
Tempa tinggalku
yang baru tidak memberikan nuansa apa-apa. Sangat sepi, kehilangan sahabat yang
selalu menemani hari-hari adalah sebuah kesedihan yang luar biasa. Yang Maha
Kuasa telah mengambil Ayah. Bertambah lagi kesedihan dan kesepianku di dunia
ini. Ingin sekali rasanya lebih baik mati saja. Tetapi aku harus tetap tabah.
Berlarut-larut aku memikirkan bagaimana caranya agar hutan it kembali seperti
dulu. Membagun kembali sahabatku yang telah mati. Jika aku membangun hutan itu
sendiri, pasti akan membutuhkan waktu lama. Dan akhirnya berkat keteguhan hati dan
keseriusanku dalam membangun hutan tersebut hingga menjadi tumbuh dan
berkembang lagi. Walau tidak seperti dulu. Bertahun-tahun lamanya aku menunggu
sahabat ku kembali. Tumbuhan dan hewan kembali. Sahabat ku kembali. Aku tidak
kesepian lagi.
***
Kebiasaanku menikmati hujan dan berbaring di atas pohon tidak pernah berubah, meski tidak
sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak sedalam dulu,
entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai turun, yang
menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal serumah dengan
kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu tidak ada
gunanya melarang aku menikmati hujan.
”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua
masih suka keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.”
Kecerewetannya sungguh menjengkelkan.
”Apakah dulu aku pernah melarang kamu
dan kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku
mundur dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah.
CERPEN
|
”Apa iya?”
”Iya.”
Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut
yang panjang selutut itu.
”Ini payungnya, Pa.”
”Tidak usah.”
Sempat kudengar gerutu putriku ketika
aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”
***
Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun
yang ganjil ini.
Sepanjang hari langit gelap dan mendung
selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi
berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk
mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali.
Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan
iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.
Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku
nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.
”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku
dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat
waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.
Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh
kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil.
No comments:
Post a Comment