Oleh: Yasin Bin Malenggang dari SPINMOTION (Single Parents Indonesia in Motion)
Tiga hari ini saya tidak menulis tapi membaca. Karena menulis tanpa membaca seperti menyanyi tanpa meniti tangga nada. Sumbang tiada harmoni di dalamya. Dan tiga hari ini saya belajar membaca bukan hanya dengan pupil mata untuk melihat, tapi juga dengan teropong hati untuk berempati. Tiga hari ini pun saya membaca bait-bait syair kehidupan manusiawi yang tak terperi. Syair kehidupan para perempuan terdzolimi yang berhasil berdiri tegak dengan berbagai upaya, cara dan jalan mereka sendiri - sendiri.
Perempuan pertama bercerita, "Bukan sekali, 
bukan 17 kali, tapi sudah 'ping seket buntet' aku dikhianati sampai 
akhirnya aku mendapatkan persetujuan dari anakku satu - satunya untuk 
melepaskan diriku dari mantan suami." Lalu perempuan kedua bercerita tak
 mau kalah, "Pagi ini, mantan suamiku mengancam, mengintimidasi dan 
menerorku kembali. Dia hendak merebut hak asuh anak-anak dariku, untuk 
kemudian diberikan pada keluarga mapan yang mau mengadopsi."
Melanjutkan
 ceritanya, perempuan pertama berceloteh, "Mantan suamiku, tiga kali 
kupergoki di hotel bersama tiga wanita yang berbeda dan tiga kali pula 
aku mengampuninya. Kenapa? Anak laki-lakiku tak mau kehilangan ayahnya 
dan malu menjadi anak broken home. Sampai akhirnya, anakku menyadari 
sendiri bahwa dia pun tak pernah menjadi nomor satu bagi ayahnya. Bahkan
 hanya berada di nomor kesekian di hati dan pikiran ayahnya. Akhirnya 
dia memintaku untuk berpisah dari ayahnya." Perempuan kedua kembali 
berkeluh kesah, "Dia kembali, setelah gagal dalam hubungannya dengan 
perempuan yang telah membuatnya meninggalkanku dan ketiga anak-anak 
kecil kami. Dan kini justru dia kembali untuk merebut anak-anak lalu 
memberikan mereka kepada keluarga kaya untuk diadopsi."
Bacaan 
akan syair kehidupan para perempuan, para ibu, para janda yang 
diperlakukan sedemikian 'asal dan sembarangan' oleh para mantan 
suaminya. Mereke awalnya berjanji sehidup semati mengarungi samudera 
kehidupan ini. Namun, kenyataan di tengah perjalanan, perubahan yang 
sangat bertolak belakang terjadi. Para laki-laki, para suami dan para 
ayah yang diharapkan menjadi pemelihara, pelindung dan pahlawan pembela,
 berubah menjadi 'momok' menakutkan bagi istri dan anak-anak mereka.
Yang
 saya ceritakan barulah dua contoh syair kehidupan yang dalam tiga hari 
ini. Makna yang harus dipahami dari kedua cerita di atas masih sangat 
samar terbaca. Namun setidaknya ada satu pesan kuat yang tersampaikan 
kepada saya, bahwa mereka adalah perempuan-perempuan yang kuat menjalani
 ujian terberat kedua setelah kelahiran anak-anak mereka. Lebih kuat 
dari apa yang selama ini dibayangkan oleh saya, sebagai laki-laki dan 
sekaligus duda beranak dua.
Pantas jika kepada para perempuan 
disematkan 'kunci surga' bagi anak-anak mereka. Namun masih saja banyak 
laki-laki yang justru menciptakan 'neraka' bagi mereka. Walau 
kenyataannya kemudian, para perempuan itu bisa keluar dari 'neraka' yang
 diciptakan untuk mereka dengan tetap kuat dan tegar  bersama 
anak-anaknya. Maka belajarlah kepada para perempuan, para ibu, para 
pejuang yang rela menahan panasnya 'neraka' dunia, lalu keluar selamat 
darinya dengan berbagai macam pedih dan luka. Karena di dalam hatinya 
mereka selalu menggenggam 'kunci surga' bagi diri mereka sendiri, yakni 
anak-anaknya.
 

 
 

 
 
 Posts
Posts
 
 
No comments:
Post a Comment