Kata-kata motivasi om Bob Sadino terngiang-ngiang di pikiranku. Mengapa
tidak? Di tengah hiruk-pikuk perkembangan zaman mulai memudarkan semangat
pemuda untuk belajar dan bekerja keras sesuai dengan janji siswa yang diucapkan
setiap hari senin yaitu upacara bendera merah putih pada masa SD/SMP/SMA/SMK ,
karena saat ini berhamburannya nilai yang diberikan oleh masing-masing Dosen .
Dengan mudah dosen dapat memberikan nilai yang bagus kepada mahasiswanya untuk
setiap mata kuliah. Tidak usah muluk-muluk kenyataannya saja, mahasiswa yang
memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif diatas 3,5 pada kebanyakan fakultas di PTN
maupun PTS jarang sekali kemampuan atau kualitasnya sebanding dengan IPK yang
dimiliki. Karena, sebagian besar mahasiswa kuliah hanya memikirkan bagaimana
memperoleh IP yang tinggi. Dipikiran mereka hanya IP tinggi dan saat wisuda
kelak nama dan gelar sarjana nya akan dipanggil lebih dulu karena memperoleh
IPK tertinggi (cum loude).
Memang benar,
perusahaan lebih memprioritaskan pelamar yang mengajukan berkas lamaran dengan
ijazah S1/S2 yang memiliki IPK tinggi. Namun, setelah itu pasti ada tes-tes yang
harus dicapai oleh pelamar untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Jika pelamar tidak dapat memenuhi
klasifikasi softskill/hardskill yang
memadai untuk kebutuhan perusahaan, maka pelamar akan ditolak untuk bekerja di
perusahaan tersebut. Alhasil ijazah S1/S2 yang dibangga-banggakan karena cumloude menjadi sia-sia karena tidak
diimbangi dengan kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki si pelamar. Oleh karena
itu pelamar tidak mendapatkan pekerjaan di perusahaan manapun dan mau tidak mau
pelamar akan membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Belum lagi bagaimana jika dihitung dari berapa lama ia kuliah, menghabiskan
biaya, bergelut dengan tugas-tugas yang hanya mengandalkan copy paste lalu persentasi, menghabiskan waktu yang seharusnya bisa
dipakai untuk memperoleh uang dan karena kuliah malah mengahabiskan uang,
bertemu dengan dosen killer, beradaptasi
dengan lingkungan yang menurutnya itu tidak sesuai dengan pribadinya,
organisasi, seminar, komunitas. Waktu 4 -6 tahun habis untuk mengejar gelar,
haus akan gelar, lapar akan gelar, bukan lapar akan ilmu pengetahuan dan
pengalaman. Waktu terus berjalan, pagi berubah menjadi petang, lalu senja, lalu
malam, gelap, malam dan kembali pagi.
Sayang, kita tidak mempunyai kantong doraemon yang bisa kembali ke pintu mana
saja terutama pintu masa lalu. Hanya dapat menjalani dan memanfaatkan waktu
sebaik-
Jawaban dari pertanyaan manakah yang harus kita priortaskan, belajar keras
atau bekerja keras. Contoh jika kita hanya mengandalkan belajar keras. Belajar,
belajar, untuk menjadi orang pintar, dalam kenyataannya orang pintar kebanyakan
pintar mengemukakan teori, pintar dalam merencanakan suatu bisnis, pintar dalam
mengasumsikan hal-hal yang belum pasti terjadi, pintar menganalisis bisnis.
Tetapi, jika kita lihat dengan kasat mata bahwa orang pintar sulit untuk
mempraktekkan teori, rencana, analisis dan segala hal yang belum dilakukan di lapangan.
Orang pintar tersebut merasa takut. Takut akan gagal, karena sebelumnya ia
telah merencanakan bagaimana jika usaha yang dilakoninya gagal, bagaimana jika
usaha bangkrut, dari gambaran tersebut kita bisa menyatakan bahwa orang pintar
dengan segudang teorinya akan terpuruk dengan drama yang diciptakan sendiri.
Karena terlalu banyak asumsi dan analisis tidak bagus untuk menjalankan suatu
usaha. Sebab akan memunculkan banyak pikiran negatif.
Kemudian contoh kedua, yaitu hanya mengandalkan bekerja keras. Seseorang
yang tidak memiliki pengetahuan yang lebih tentang bisnis ataupun usaha, tidak
pandai menganalisis, tidak mampu berencana, kebanyakan seseorang yang tidak
peduli tentang hal-hal negatif yang akan menimpa bisnisnya. Ia hanya terus
berjalan menjalankan usahanya, karena hanya itulah yang ia miliki, karena hanya
satu maka fokuslah orang tersebut menjalani bisnisnya. Ia tidak takut rugi,
karena baginya untuk memulai bisnis harus ada rugi kemudian setelah itu akan
mendapatkan laba. Bagi mereka kritikan konsumen dipelajari, dari konsumen lah
mereka belajar, bukan dari teori. Mereka langsung merasakan perihnya langsung
terjun ke lapangan.
Namun bukan berarti bekerja keras saja sudah cukup, usaha tersebut juga
harus dilengkapi dengan doa dan ikhtiar. Bekerja keras saja belum cukup sebab
perlu ditambah sedikit bekerja cerdas.
No comments:
Post a Comment